Sabtu, 13 Oktober 2012

The Way of Salaf

BAGAIMANA MERUJUK PADA ULAMA SALAF?


TANYA:

Kita acapkali mendengar bahwa sudah selayaknya kaum Muslim merujuk kepada para ulama salaf. Lalu siapakah sebenarnya ulama salaf itu?

JAWAB:

Salaf secara harfiah berarti madhâ (berlalu), juga berarti generasi pendahulu seseorang.[1] Menurut Ibn Manzhur, salaf mempunyai dua konotasi: Pertama, setiap amal salih yang dipersembahkan oleh seseorang sehingga amal tersebut menjadi peninggalannya. Kedua, nenek moyang yang telah mendahului Anda, atau kerabat Anda, yang usia dan kemuliaannya berada di atas Anda. Karena itu, generasi pertama Islam, yaitu para sahabat dan tâbi‘în, disebut Salaf Shâlih.[2]

Prof. Dr. Muhammmad Rawwas Qal'ah Ji, dalam Mu'jam Lughat al-Fuqahâ', menyatakan bahwa istilah salaf bukan hanya untuk para sahabat dan tâbi‘în, melainkan termasuk para tâbi‘ at-tâbi‘în serta imam mujtahid terdahulu yang (ijtihadnya) bisa diterima.[3]

Dengan konotasi seperti ini, ulama salaf itu meliputi generasi sahabat, generasi tâbi‘în, generasi tâbi‘ at-tâbi‘în, dan para imam mujtahid. Selain generasi ini, dalam khazanah keilmuan Islam, disebut dengan istilah khalaf. Artinya, khalaf juga merupakan kebalikan salaf. Khalaf sendiri secara harfiah berarti pengganti, di belakang, atau yang ditinggalkan. Dari sini, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal'ah Ji menyatakan bahwa khalaf berarti generasi ulama pasca tâbi‘ at-tâbi‘în.[4] Dengan konotasi seperti ini, maka para ulama klasik seperti Ibn Hazm (w. 1064 M), al-Ghazali (w. 1111 M), as-Sarahsi (w. 1112 M), ar-Razi (w. 1228 M), Ibn Qudamah (w. 1242 M), an-Nawawi (w. 1277 M), Ibn Taimiyah (w. 1328 M), Ibn Hajar al-Asqalani (w. 1474 M) dan sebagainya termasuk dalam kategori ulama khalaf.

Hanya saja, persoalannya bukan terletak pada status salaf atau khalaf sehingga salaf pasti lebih baik daripada khalaf. Sebab, generasi khalaf pun berhak mendapatkan status kemuliaan sebagaimana yang diperoleh oleh generasi salaf, seperti yang telah dinyatakan dalam Hadis Nabi saw.:

«أَتَدْرُوْنَ أَيَّ أَهْل الإِيْمَانِ أَفْضَلُ إِيْمَانًا؟... قاَلَ: أَقْوَامٌ يَأْتُوْنَ مِنْ بَعْدِيْ فِي أَصْلاَبِ الرِّجَالِ فَيُؤْمِنُوْنَ بِيْ وَلمَ ْيَرَوْنِي، وَيَجِدُوْنَ الْوَرَقَ الْمُعَلَّقَ فَيَعْمَلُوْنَ بِمَا فِيْهِ»

"Tahukan kalian, siapakah orang beriman yang paling baik keimanannya?"....Beliau menjawab, "Suatu kaum yang datang setelahku sebagai orang-orang yang kuat; mereka mengimaniku, sekalipun tidak pernah melihatku; mereka menemukan kertas yang tergantung, lalu melaksanakan isinya." (HR al-Hakim).

Hadis ini dengan jelas menyatakan status keimanan generasi pasca sahabat, termasuk di dalamnya generasi khalaf, yang dinobatkan sebagai generasi paling baik keimanannya, karena mereka melaksanakan isi kertas yang tergantung, yaitu al-Quran dan as-Sunnah, dalam kehidupan mereka. Mereka memang tidak pernah hidup pada zaman Nabi saw. dan tidak sempat bertemu beliau, tetapi mereka mengimaninya dan melaksanakan seluruh ajarannya. Artinya, masalahnya bukan terletak pada status salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan) mereka, tetapi pada keteguhan mereka dalam mengimplementasikan seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasul saw.

MAKSUD DARI KATA-KATA 'MERUJUK KEPADA ULAMA SALAF'

Allah memang menciptakan manusia dengan potensi intelektual yang berbeda satu sama lain. Karena itu, Allah memerintahkan agar yang potensi intelektualnya kurang bertanya kepada orang yang mempunyai potensi intelektual lebih. Allah Swt. berfirman:

]فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ[

Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui. (QS an-Nahl [16]: 43).

Nabi saw. juga bersabda:

«أَلمَ يَكُنْ شِفَاءُ الْعَيِّ السُّؤَاْلُ»

Bukanlah obat bagi orang yang buta (tidak tahu) itu adalah bertanya? (HR al-Hakim).

Karena itu, taklid dalam keberislaman seseorang memang telah dimaklumi kebolehannya. Hanya saja, tetap harus dibedakan antara persoalan akidah dan hukum. Dalam akidah, taklid tidak diperbolehkan, sementara dalam persoalan hukum diperbolehkan. Sebab, terdapat banyak nash yang melarang taklid dalam berakidah, sementara dalam berhukum tidak; sekalipun tentu ini bukan merupakan perintah asal bagi setiap mukallaf.

Meski demikian, tetap harus dicatat, bahwa kebolehan taklid kepada orang bukan berarti mengikuti orangnya, melainkan mengikuti pendapat dan pandangan yang menjadi ijtihadnya. Sebab, setiap manusia wajib mengikat seluruh perbuatannya dengan hukum Allah, baik dengan cara berijtihad sendiri ataupun bertaklid kepada mujtahid lain. Jika seorang Abu Hanifah, Malik, as-Syafi'i atau Ahmad, misalnya, bukan mujtahid, maka taklid kepada mereka tentu tidak diperbolehkan.

Karena itu, status mengikuti ulama bisa diklasifikasikan menjadi dua: (1) taklid; jika ulama yang diikuti adalah seorang mujtahid; (2) ta'lîm wa ta'allum (belajar-mengajar); jika ulama yang diikuti bukanlah seorang mujtahid. Meski demikian, masing-masing ulama tersebut tetap harus memenuhi kualifikasi adil dan 'alîm (berilmu).[5]

Dari sini, bisa disimpulkan, bahwa maksud merujuk kepada ulama salaf tidak lain adalah mengikuti pendapat dan pandangan mereka, bukan mengikuti individu mereka; atau mengikuti hukum dan pandangan yang menjadi ijtihad mereka, bukan pandangan yang lahir dari hawa nafsu mereka. Karena itu, keilmuan mereka yang digunakan untuk berijtihad, yang ditopang dengan keadilan mereka—sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali[6]—menjadikan mereka sebagai rujukan dan panutan generasi setelah mereka.

Mengikuti pendapat dan pandangan ulama salaf tidak serta-merta karena figur kesalafannya, yang oleh Imam Ali k.w. disebut rijâl, tetapi karena aspek kebenaran pendapat dan pandangan (al-haqq)-nya, dan baru bisa dinilai; apakah rijâl (figur salaf atau khalaf) tersebut benar atau salah. Untuk mengetahui aspek kebenaran pendapat dan pandangan (al-haqq)-nya itu tidak ada jalan lain melainkan dengan menganalisis kuat-lemahnya dalil yang menjadi sandarannya. Imam Ali pernah menyatakan:

«إِنَّ الْحَقَّ لاَ يُعْرَفُ بِالرِّجَالِ اَعْرِفِ الْحَقَّ تَعْرِفِ أَهْلَهُ»

Sesungguhnya kebenaran itu tidak bisa diketahui melalui figur (orang)-nya. Ketahuilah kebenaran itu, baru kamu akan mengetahui orangnya. (Dikeluarkan oleh al-Manawi dalam Faydh al-Qadîr).

Kenyataan inilah yang menjadi alasan para ulama ushul menolak menjadikan mazhab sahabat sebagai dalil syariat, tetapi hanya sebatas hukum yang dihasilkan oleh sahabat, sebagaimana lazimnya mujtahid yang lain. Karena itu, statusnya sama; sama-sama mempunyai potensi benar dan salah. Ini berbeda dengan apa yang disepakati oleh para sahabat, yang kemudian dikenal dengan Ijma Sahabat. Yang terakhir ini merupakan dalil syariat yang pasti benar.

Akan tetapi, ini juga tidak berarti bahwa mengikuti mereka tidak penting, karena yang penting hanya mengikuti dalil. Sikap demikian hanya akan memutus mata rantai keilmuan syariat yang dibutuhkan untuk memahami dalil-dalil syariat tersebut, sebagaimana yang lazim disuarakan oleh kalangan Muslim Liberal. Sebab, harus diakui bahwa untuk memahami dan menggali dalil agar bisa dikeluarkan menjadi produk hukum syariat hanya bisa dilakukan dengan metode berpikir 'aqliyyah (rasional), yang meniscayakan adanya informasi kesyariatan. Informasi kesyariatan itu sendiri meniscayakan peranan ulama salaf, yang telah berjasa mensistematisasikan khazanah keilmuan Islam yang luar biasa itu. Karena itu, apapun upaya yang dilakukan untuk memahami dan menggali dalil syariat, tanpa bantuan keilmuan mereka, hanyalah upaya yang sia-sia.

Wallâhu a‘lam.
Hafidz Abdurrahman, MA.

CATATAN KAKI:
[1] Ar-Râzi, Mukhtâr as-Shihhâh, Maktabah Lubnân, Beirut, 1999, hal. 272; Ibn Mandhûr, Lisân al-'Arab, Dâr al-Fikr, Beirut, t.t., juz IX, hal. 158-159.

[2] Ibn Mandhûr, Ibid, juz IX, hal. 158-159.

[3] Prof. Dr. Muhammad Rawwâs Qal'ah Ji, Mu'jam Lughat al-Fuqahâ', Dâr an-Nafâ'is, Beirut, cet. I, 1996, hal. 222.

[4] Prof. Dr. Muhammad Rawwâs Qal'ah Ji, Mu'jam Lughat al-Fuqahâ', Dâr an-Nafâ'is, Beirut, cet. I, 1996, hal. 222.

[5] Al-Ghazâli, al-Mustasfa fi 'Ilm al-Ushûl, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, 2000, hal. 373.

[6] Ibid, hal. 373.