Kamis, 21 Oktober 2010

Bisyarah Rasulullah dan Janji Allah

Bisyarah Rasulullah dan Janji Allah

oleh Struggle Tahrir pada 31 Juli 2010 jam 12:01
Bisyarah adalah sebuah kabar gembira yang Allah turunkan kepada ummatnya, baik melalui al-Qur’n ataupun melalui ucapan rasulullah. Bisyarah adalah perlambang janji Allah dan menjadi penyemangat kaum muslim selama berabad-abad lamanya, keyakinan akan janji ALlah ini terpatri kuat di dalam jiwa kaum muslim dan menjadi harapan ditengah-tengah kepuusasaan, menjadi pengingat dalam kealpaan dan menjadi sebuah sumber energi yang tidak terbatas sampai kapanpun juga. Dengan bisyarah inilah kaum muslim berjuang dan menorehkan tinta emas dalam sejarah peradaban dunia.
Salah satu bisyarah yang dapan menginspirasi setiap muslim adalah bisyarah rasulullah yang disampakan oleh Abdullah bin Amru pada shahabat:
فقال عبد الله بينما نحن حول رسول الله صلى الله عليه وسلم نكتب إذ سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم أي المدينتين تفتح أولا قسطنطينية أو رومية فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم مدينة هرقل تفتح أولا يعني قسطنطينية
Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata, "bahwa ketika kami duduk di sekeliling Rasulullah SAW untuk menulis, tiba-tiba beliau SAW ditanya tentang kota manakah yang akan futuh terlebih dahulu, Konstantinopel atau Roma. Rasulullah SAW menjawab, "Kota Heraklius terlebih dahulu (maksudnya Konstantinopel) (HR Ahmad)
لتفتحن القسطنطينية فلنعم الأمير أميرها ولنعم الجيش ذلك الجيش
Kalian pasti akan membebaskan Konstantinopel, sehebat-hebat Amir (panglima perang) adalah Amir-nya dan sekuat-kuatnya pasukan adalah pasukannya (HR Ahmad)
Ini adalah sebuah bisyarah, petunjuk dan kabar gembira bagi kaum muslim bahwa dua pilar peradaban barat pada waktu itu yang dijadikan simbol yaitu: Kota Roma (Romawi Barat) dan Kota Konstantinopel (Romawi Timur) akan diberikan dan dibebaskan oleh kaum muslim.
Dan hal ini menjadi penyemangat para Khalifah untuk melakukan futuhat, tercatat dalam sejarah bahwa Abu Ayyub al-Anshari (44 H) pada Khalifah Muawiyyah bin Abu Sufyan adalah orang yang pertama kali ingin merealisasikan janji Allah tersebut, namun karena kondisi fisik beliau tidak mampu memenuhinya, walaupun begitu, beliau meminta agar jasadnya dikuburkan di bawah kaki pasukan kaum muslim terdepan pada saat ekspedisi itu sebagai sebuah milestone bagi mujahid selanjutnya. Lalu Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik (98 H) pada masa Kekhalifahan Umayyah, Khalifah Harun al-Rasyid (190 H) masa Kekhalifahan Abasiyyah, Khalifah Beyazid I (796 H) masa Kekhalifahan Utsmanityyah, Khalifah Murad II (824 H) masa Kekhalifahan Utsmaniyyah juga tercatat dalam usaha penaklukan konstantinopel, tetapi karena satu dan lain hal, Allah belum mengizinkan kaum muslim memenangkan pertempuran itu.
Konstantinopel merupakan salah satu kota terpenting di dunia, kota ini memiliki benteng yang tidak tertembus yang dibangun pada tahun 330 M. oleh Kaisar Byzantium yaitu Constantine I. Konstaninopel memiliki posisi yang sangat penting di mata dunia. Sejak didirikannya, pemerintahan Byzantium telah menjadikannya sebagai ibukota pemerintahan Byzantium. Konstantinopel merupakan salah satu kota terbesar dan benteng terkuat di dunia saat itu, dikelilingi lautan dari tiga sisi sekaligus, yaitu selat Bosphorus, Laut Marmarah dan Tanduk Emas (golden horn) yang dijaga dengan rantai yang sangat besar, hingga tidak memungkinkan untuk masuknya kapal musuh ke dalamnya. Pentingnya posisi konstantinopel ini digambarkan oleh napoleon dengan kata-kata ".....kalaulah dunia ini sebuah negara, maka Konstantinopel inilah yang paling layak menjadi ibukota negaranya!".
Adalah Muhamamd II atau selanjutnya dikenal sebagai Muhammad al-Fatih, yang akan menaklukan kota ini, sejak kecil dia telah dididik oleh ulama-ulama besar pada zamannya, khususnya Syaikh Aaq Syamsuddin yang tidak hanya menanamkan kemampuan beragama dan ilmu Islam, tetapi juga membentuk mental pembebas pada diri Mumammad al-Fatih. Beliau selalu membekali al-Fatih dengan cerita dan kisah para penakluk, kisah syahid dan mulianya para mujahid, dan selalu mengingatkan Muhammad II tentang bisyarah rasulullah dan janji Allah yang menjadikan seorang anak kecil bernama Muhammad II memiliki mental seorang penakluk.
Maka tidak mengherankan ketika berumur 23 tahun, al-Fatih telah menguasai 7 bahasa dan dia telah memimpin ibukota Khilafah Islam di Adrianopel (Edirne) sejak berumur 21 tahun (ada yang memberikan keterangan dia telah matang dalam politik sejak 12 tahun). Sebagian besar hidup al-Fatih berada diatas kuda, dan beliau tidak pernah meninggalkan shalat rawatib dan tahajjudnya untuk menjaga kedekatannya dengan Allah dan memohon pertolongan dan idzinnya atas keinginannya yang telah terpancang kuat dari awal: Menaklukan Konstantinopel.
Diapun sadar untuk menaklukkan konstantiopel dia membutuhkan perencanaan yang baik dan orang-orang yang bisa diandalkan, maka diapun membentuk dan mengumpulkan pasukan elit yang dinamakan Janissaries, yang dilatih dengan ilmu agama, fisik, taktik dan segala yang dibutuhkan oleh tentara, dan pendidikan ini dilaksanakan sejak dini, dan khusus dipersiapkan untuk penaklukan konstantinopel. 40.00 orang yang loyal kepada Allah dan rasul-Nya pun berkumpul dalam penugasan ini. Selain itu dia juga mengamankan selat bosphorus yang menjadi nadi utama perdagangan dan transportasi bagi konstantinopel dengan membangun benteng dengan 7 menara citadel yang selesai dalam waktu kurang dari 4 bulan.
Tetapi konstantinopel bukanlah kota yang mudah ditaklukkan, kota ini menahan serangan dari berbagai penjuru dunia dan berhasil menetralkan semua ancaman yang datang kepadanya karena memiliki sistem pertahanan yang sangat maju pada zamannya, yaitu tembok yang luar biasa tebal dan tinggi, tingginya sekitar 30 m dan tebal 9 m, tidak ada satupun teknologi yang dapat menghancurkan dan menembus tembok ini pada masa lalu. Dan untuk inilah al-Fatih menugaskan khusus pembuatan senjata yang dapat mengatasi tembok ini.
Setelah mempersiapkan meriam raksasa yang dapat melontarkan peluru seberat 700 kg, al-Fatih lalu mempersiapkan 250.000 total pasukannya yang terbagi menjadi 3, yaitu pasukan laut dengan 400 kapal perang menyerang melalui laut marmara, kapal-kapal kecil untuk menembus selat tanduk, dan sisanya melalui jalan darat menyerang dari sebelah barat konstantinopel, awal penyerangan ini dilakukan pada tanggal 6 April 1453, yang terkenal dengan The Siege of Constantinple.
Keseluruhan pasukan al-Fatih dapat direpotkan oleh pasukan konstantinopel yang bertahan di bentengnya, belum lagi serangan bantuan dari negeri kristen lewat laut menambah beratnya pertempuran yang harus dihadapi oleh al-Fatih, sampai tanggal 21 April 1453 tidak sedikitpun tanda-tanda kemenangan akan dicapai pasukan al-Fatih, lalu akhirnya mereka mencoba suatu cara yang tidak terbayangkan kecuali orang yang beriman. Dalam waktu semalam 70 kapal pindah dari selat bosphorus menuju selat tanduk dengan menggunakan tenaga manusia. Yilmaz Oztuna di dalam bukunya Osmanli Tarihi menceritakan salah seorang ahli sejarah tentang Byzantium mengatakan:
“kami tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar sebelumnya, sesuatu yang sangat luar biasa seperti ini. Muhammad Al-Fatih telah mengubah bumi menjadi lautan dan dia menyeberangkan kapal-kapalnya di puncak-puncak gunung sebagai pengganti gelombang-gelombang lautan. Sungguh kehebatannya jauh melebihi apa yang dilakukan oleh Alexander yang Agung,”
Pengepungan ini terus berlanjut sampai dengan tanggal 27 Mei 1453, melihat kemenangan sudah dekat, Muhamamad al-Fatih mengumpulkan para pasukannya lalu berkhutbah didepan mereka:
Jika penaklukan kota Konstantinopel sukses, maka sabda Rasulullah SAW telah menjadi kenyataan dan salah satu dari mukjizatnya telah terbukti, maka kita akan mendapatkan bagian dari apa yang telah menjadi janji dari hadits ini, yang berupa kemuliaan dan penghargaan. Oleh karena itu, sampaikanlah pada para pasukan satu persatu, bahwa kemenangan besar yang akan kita capai ini, akan menambah ketinggian dan kemuliaan Islam. Untuk itu, wajib bagi setiap pasukan, menjadikan syariat selalu didepan matanya dan jangan sampai ada diantara mereka yang melanggar syariat yang mulia ini. Hendaknya mereka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja. Hendaknya mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran
Subhanallah, ini sebuah penegasan pada pasukannya bahwa kemenangan tidak akan bisa dicapai dengan mengandalkan kekuatan belaka, bukan pula karena kecerdasan dan strategi perang, Muhammad al-Fatih sangat memahami bahwa kemenangan hanya akan tercapai dengan izin dan pertolongan Allah. Maka ia meminta seluruh pasukannya bermunajat pada Allah, menjauhkan diri dari maksiat, bertahajjud pada malam harinya dan berpuasa pada esok harinya. Pada tanggal 29 Mei 1453, serangan terakhir dilancarkan, dan sebelum Ashar, al-Fatih sudah menginjakkan kakinya di gerbang masuk konstantinopel. Berakhirlah pengepungan selama 52 hari lamanya dan penantian panjang akan janji Allah selama 825 tahun lamanya. Konstantinopel dibebaskan kaum muslim melalui tangan al-Fatih!
Bayangkan, kekuatan seperti apa yang bisa menjaga semangat, persatuan, dan kesabaran selama 52 hari perang dan lintas generasi dalam 825 tahun lamanya? Kekuatan seperti apa yang dapat menjadikan anak muda berumur 23 tahun menaklukan sebuah peradaban besar? Inilah yang dinamakan kekuatan percaya pada janji Allah dan bisyarah rasul-Nya. Kemampuan melihat tidak dengan mata tetapi dengan keimanan, kekuatan yang melebihi apapun, Beyond the Inspiration. Allahuakbar!
Konstantinopel telah takluk dan itu tidak akan terulang kembali karena posisi yang mulia dalam bisyarah rasulullah telah ditempati oleh Muhammad al-Fatih. Penaklukan kota Roma hanya menunggu waktu dan posisi kemuliaan itupun akan ditempati oleh satu orang. Tetapi ada satu bisyarah lagi yang rasulullah sampaikan pada kita, yang mengajak kita semuanya untuk merealisasikan itu.
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

Ada yang berminat ...... ????????

DAKWAH ISLAM: Antara Tharîqah, Uslûb, dan Washîlah

DAKWAH ISLAM: Antara Tharîqah, Uslûb, dan Washîlah

oleh Struggle Tahrir pada 01 Agustus 2010 jam 11:22
Ideologi secara umum dapat didefinisikan sebagai serangkaian konsep hubungan dan keyakinan yang memberikan dasar bagi sistem politik, ekonomi, dan kemasyarakatan. Dengan demikian, kita memahami bahwa ideologi apapun mempunyai dua komponen pokok: (1) ide (fikrah); (2) metode (tharîqah).

Ide (Fikrah)
Terima ide (fikrah) dapat diterjemahkan sebagai pemikiran. Pemikiran yang paling mendasar adalah doktrin tentang landasan, yaitu doktrin tentang akidah. Seluruh pemikiran dan sistem yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan terpancar dari—dan ditentukan oleh—akidah. Dengan demikian, ide/pemikiran—yang menjadi satu dari dua komponen pokok sebuah ideologi—adalah pemikiran yang dibangun di atas akidah. Dalam konteks ideologi, ide terdiri dari:
(1) Akidah atau doktrin itu sendiri yang merupakan landasan pemikiran tentang alam, manusia, dan kehidupan. Allah SWT berfirman:

Katakanlah, “Allah itu Esa.” (QS al-Ikhlash [112]: 1).

Ayat di atas merupakan ide/pemikiran yang berkaitan langsung dengan akidah.
(2) Peraturan/hukum-hukum yang muncul dari akidah. Hukum-hukum (ahkâm) itu diturunkan dari akidah (doktrin) dan digunakan untuk memecahkan problema kehidupan secara keseluruhan. Allah SWT berfirman:

Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 225).

Ayat tersebut menghasilkan pemikiran yang berkaitan dengan interaksi yang spesifik, yakni interaksi ekonomi dan kerjasama. Ayat-ayat yang lain ada yang berkaitan dengan kondisi yang diperlukan untuk mendirikan khilafah, menjelaskan tentang khalifah, dsb. Ada juga yang berkaitan dengan tata hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, transaksi bisnis, makanan, pakaian, dan lain sebagainya.

Metode (Tharîqah)
Metode (tharîqah) adalah cara untuk merealisasikan ide sehingga sebuah ideologi menjadi aplikatif (membumi), tidak menjadi falsafah kosong. Rasulullah saw. tidak hanya sekadar menjadi penyampai berbagai penjelasan Tuhannya semata, tetapi juga menjadi seorang hakim pelaksana atas berbagai penjelasan tersebut. Rasulullah saw., misalnya, tidak hanya sekadar menjelaskan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa yang harus disembah, tetapi juga berusaha agar hal itu bisa direalisasikan ke dalam dunia nyata. Beliau menyeru umat manusia ke jalan Allah, sementara pada saat yang sama, komunitas para sahabat bekerja bersama-sama beliau untuk mendirikan Daulah Islamiyah di Makkah. Dengan begitu, beliau dapat mewujudkan suatu institusi yang tegak di atas keimanan. Institusi inilah yang secara praktis menerapkan Islam, sekaligus memberikan sanksi kepada setiap orang yang keluar dari kerangka akidah dan sistem Islam. Institusi inilah yang juga berusaha menyebarkan Islam dengan metode dakwah dan jihad.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode mencakup: (1) Aplikasi atas ide; (2) Pemeliharaan akidah; (3) Penyebaran ideologi.
Hukum-hukum di seputar tegaknya Daulah Islamiyah dan usaha untuk mendirikannya, ‘uqûbât, jihad, ataupun amar makruf nahi mungkar semuanya merupakan hukum-hukum syariat yang bersifat praktis. Hukum-hukum tersebut telah ditetapkan oleh syariat untuk menjaga, memelihara, menyebarkan, serta mendakwahkan akidah dan sistem Islam—agar keuniversalan keduanya dapat tercapai.
Suatu aksi akan dipandang sebagai bagian dari metode jika ada justifikasi yang berasal dari dalil. Sebagai contoh, jihad. Jihad merupakan metode yang memiliki banyak aktivitas cabang; masing-masing memiliki landasan dalil. Contohnya adalah melakukan perang ofensif dan mendakwahkan Islam kepada mereka yang menjadi lawan berperang kita. Semua itu didasarkan pada dalil-dalil yang ada. Inilah jalan yang dilakukan dan ditempuh oleh Rasulullah. Karenanya, semua aksi itu secara kesluruhannya terlarang untuk dimodifikasi (ditambah, dikurangi, atau diubah).
Dengan demikian, jelaslah bahwa ide (fikrah) dan metode (tharîqah) merupakan komponen dari suatu ideologi. Oleh karenanya, keduanya mesti dipegang secara kuat dan dengan keyakinan penuh. Tidak boleh hanya mengambil fikrah sembari mengabaikan tharîqah ataupun sebaliknya. Allah SWT berfirman:
Apakah engkau akan mengimani sebagian dari al-Quran dan mengingkari sebagian yang lainnya? Tidak ada balasan bagi orang yang melakukan hal itu kecuali kehinaan di dunia dan di Hari Kiamat kelak akan dikembalikan pada azab yang pedih. (QS al-Baqarah [2]: 85).

Seandainya tidak ada hukum-hukum yang menjelaskan tentang tatacara melindungi, menerapkan, dan menyebarkan hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah dan sistem Islam, Islam pasti akan stagnan (beku), tidak bergerak, tidak akan sampai kepada kita, dan tidak akan tersebar ke seluruh dunia; Islam pun pasti hanya akan menjadi sekumpulan nasihat dan petunjuk semata sebagaimana halnya agama Nasrani yang cukup dengan seruan, “Janganlah kamu berzina dan tertarik dengan istri tetanggamu,” tanpa ada peraturan lain yang memungkan seruan tersebut bisa dilaksanakan di dunia nyata. Seandainya demikian kenyataannya, Islam pun pasti tidak akan memiliki pengaruh yang signifikan bagi kehidupan, dan akan membutuhkan sejumlah pemikiran praktis yang lain—di luar Islam—dalam upaya menerapkan hukum-hukum yang tidak mampu Islam terapkan; meskipun dengan gambaran yang salah.
Di dalam Islam, zina, misalnya, merupakan suatu perbuatan yang haram. Sesuatu yang dapat mencegah terjadinya hubungan yang haram ini tidak lain adalah hukum-hukum syariat yang lain yang berkaitan dengannya, yaitu ‘uqûbah atau sanksi (berupa hukuman cambuk atau rajam, red.) bagi pezina yang secara praktis diterapkan oleh Daulah Islamiyah. Dalam hal ini, syariat Islam telah menjelaskan hukum zina melalui firman Allah berikut ini:

Janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk. (QS al-Isra’ [17]: 32).

Syariat Islam juga telah menjelaskan hukuman bagi pelaku zina melalui ayat berikut:

Perempuan yang berzina maupun laki-laki yang berzina, deralah masing-masing seratus kali deraan. (QS an-Nur [24]: 2).

Lebih dari itu, syariat Islam juga telah menjelaskan pihak yang melaksanakan hukuman tersebut dan mengurusi penerapannya melalui sabda Rasulullah saw. berikut:

Jauhkanlah sanksi hudûd dari umat Islam semampu kalian. Jika kalian menemukan jalan keluar bagi seorang Muslim (agar ia terbebas dari sanksi hudûd), lepaskanlah ia. Sesungguhnya penguasa yang salah dalam memberi maaf lebih baik daripada salah dalam memberlakukan sanksi. (HR at-Turmudzi dan al-Hakim).

Melalui hadis ini, Rasulullah saw. jelas telah menetapkan bahwa imam (penguasa)-lah yang menerapkan hukum tersebut.
Demikian juga dengan shalat. Dalam konteks shalat, sesungguhnya syariat Islam telah menjelaskan bahwa hukumnya adalah fardhu. Syariat Islam telah menjelaskan pula hukum di seputar sanksi bagi orang yang melalaikannya. Syariat Islam juga menjelaskan tentang pihak yang menerapkan sanksi, yaitu Daulah Islamiyah.

Uslûb (Cara)
Uslûb (cara) adalah cabang dari metode (tharîqah). Uslûb berbeda dengan tharîqah; ia tidak memiliki pijakan dalil secara khusus, tetapi mengikuti hukum tharîqah. Contohnya adalah dalam konteks jihad, yakni ketika Allah SWT memerintahkan kaum Muslim menyiapkan kekuatan apa saja yang mungkin dapat digunakan untuk menggentarkan, melawan, dan mengalahkan musuh.

Siapkanlah kekuatan yang mungkin kalian siapkan untuk (menghadapi) mereka. (QS al-Anfal [8]: 60).

Persiapan tersebut memerlukan banyak aktivitas seperti menggunakan cara pabrikasi senjata tertentu, mengadopsi gaya militer tertentu, dan sebagainya. Semua aktivitas itu secara implisit terkandung dalam kata siapkanlah sehingga tidak lagi memerlukan dalil-dalil untuk menjelaskan masing-masing dari aktivitas tersebut.
Contoh lain adalah perintah Allah dan Rasul-Nya untuk memilih seorang khalifah untuk seluruh kaum Muslim. Dalam proses pemilihan khalifah boleh jadi akan ditempuh pengadopsian suatu prosedur pemilihan dan pengumuman suara. Semua ini tidak memerlukan dalil khusus, tetapi cukup disandarkan pada keterangan umum dari perintah di atas, yaitu memilih khalifah.
Walhasil, uslûb adalah sekumpulan aktivitas cabang yang diasumsikan sesuai dengan suatu aktivitas pokok tanpa memerlukan dalil khusus. Pengadopsian cara berperang tertentu, prosedur pengumuman suara, aturan lalu lintas tertentu, pembagian kekuatan militer ke divisi dan subdivisi, dsb semuanya berhubungan dengan uslûb tertentu dan hukumnya boleh diadopsi. Namun demikian, ketika uslûb tertentu mutlak harus diadopsi, maka ia menjadi wajib hukumnya karena kaidah syariat menyatakan:

Suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib.

Dari kaidah tersebut kita dapat mengetahui bahwa tidak ada satu kewajiban untuk mengikuti satu uslûb tertentu, kecuali ketika uslûb tersebut harus diwujudkan sesuai dengan kaidah di atas, karena uslûb bersifat kondisional.
Dengan alasan ini, uslûb yang dipakai seseorang bisa saja berbeda dengan yang dipakai oleh orang lain dan bisa berubah dari satu situasi ke situasi yang lain. Karena itu, tidak bijaksana membatasi uslûb tertentu sebagai standar. Sebab, uslûb ditentukan oleh situasi dan kondisi. Satu uslûb boleh jadi sangat berhasil pada satu situasi tetapi menjadi gagal total pada beberapa situasi yang lain. Karena itu pula, kita berkewajiban untuk berusaha keras mencari uslûb yang paling efektif. Dalam banyak hal, uslûb yang efektif akan berpelunag besar membuahkan hasil yang baik sekali, seperti manuver Khalid bin Walid ketika menarik kembali pasukan pada perang Mu’tah yang membuahkan terselamatkannya pasukan kaum Muslim dari kerusakan yang parah.

Membedakan Tharîqah dan Uslûb
Dengan meneliti sejarah dakwah, seseorang akan dapat mengetahui bahwa ada banyak keadaan yang menjelaskan perbedaan antara metode (tharîqah) dan cara (uslûb). Kita diperintahkan untuk mengadopsi dan menegakkan tharîqah tanpa ada deviasi sedikitpun, tetapi tidak diwajibkan untuk mengadopsi uslûb tertentu.
Sunnah Rasulullah adalah bagian tak terpisahkan dari Islam. Sunnah menjelaskan dan mendeskripsikan secara detil banyak fikrah dan tharîqah yang diperintahkan dalam al-Quran. Penjelasan atas fikrah tertentu adalah sama hukumnya dengan fikrah itu sendiri. Contohnya adalah ibadah ritual. Allah telah memerintahkan bagaimana performa seseorang yang melaksanakan shalat dan haji secara detil. Semua aktivitas itu hukumnya sama dengan fikrah-nya, yakni perintah untuk menunaikan shalat dan haji itu.
Untuk mengetahui mana dari aktivitas Rasulullah yang merupakan kewajiban, mana yang merupakan sunnah/anjuran, dan mana yang merupakan kemubahan maka ketentuan dalam ushul fikih perlu dijelaskan. Dengan mendalami aktivitas Rasul dalam berbagai tahapan dakwahnya akan ditemukan apakah suatu aktivitas merupakan bagian dari tharîqah atau uslûb. Rasulullah menyampaikan Islam mengikuti tharîqah tertentu.
Yang termasuk tharîqah dakwah Rasulullah saw. adalah menyampaikan Islam dan menggerakkan dakwah dari satu tahap ke tahap berikutnya. Beliau menetapi tahap dakwah tertentu dengan aktivitas yang tidak beliau lakukan pada tahap sebelumnya yang disertai dengan ketekunan dan kesungguhan hati sekalipun hal itu berpotensi mendatangkan bahaya. Semua itu menjadi sejumlah bukti/dalil bahwa aktivitas tersebut merupakan kewajiban dan menjadi bagian dari tharîqah.
Secara spesifik, pada tahap awal sekali, Rasulullah teguh dalam memusatkan usaha untuk membina individu dalam halqah-halqah dan mendidik masyarakat umum (tatsqîf jama‘î). Ketabahan dan keberlanjutan beliau dalam melaksanakan aktivitas tersebut merupakan bukti/dalil yang memastikan bahwa mendidik masyarakat dan mendidik individu dengan Islam merupakan tharîqah. Konsekuensinya, hal itu wajib diadopsi dan diikuti.
Pada tahap kedua, yang dilakukan oleh Rasulullah mencakup dua aktivitas. Keduanya tidak beliau lakukan pada tahap sebelumnya atau tahap pertama (tahap tatsqîf) yaitu:

a. Mengkritik berbagai perilaku buruk yang terjadi di masyarakat dalam bentuk yang dimandatkan oleh Islam. Rasulullah menyerang kecurangan dan penipuan dalam timbangan dan praktik pembunuhan anak perempuan.
b. Menyingkap rencana makar terhadap kaum Muslim semisal yang terjadi selama peperangan antara Romawi dan Persia.

Semua itu mengindikasikan bahwa menyingkap rencana orang-orang kafir dan membongkar isu di masyarakat dengan dasar Islam merupakan bagian dari tharîqah. Berbagai macam aksi Rasulullah saw. pada tahap kedua yang tidak beliau lakukan pada tahap pertama mengindikasikan bahwa sejumlah aktivitas itu merupakan aktivitas yang spesifik yang mesti ada pada tahap kedua.
Pada tahap ketiga, Rasulullah saw. berupaya mencari perlindungan (thalab an-nushrah) bagi dakwah Islam. Beliau berkeras hati dan terus melakukan upaya ini. Beliau, misalnya, mengutus Mush‘ab bin Umair ke Madinah. Semua itu mengindikasikan bahwa mencari perlindungan bagi dakwah Islam merupakan bagian dari tharîqah.
Menyampaikan dakwah Islam serta mengintroduksi dan menumbuhkan fikrah Islam tentang kehidupan sekaligus mengubah kehidupan perlu dilakukan sejak tahap pertama dakwah. Kemudian, pada tahap kedua, dakwah juga perlu dibarengi dengan mengungkap rencana makar (kasyf al-khuththath) orang-orang kafir (musuh Islam) terhadap kaum Muslim dan mengangkat berbagai isu yang berkembang di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan landasan Islam. Setelah itu, perlu usaha untuk menegakkan negara Islam. Aktivitas ini terkait dengan fase ketiga dari dakwah Islam. Semua ini merupakan bagian dari tharîqah dakwah Rasulullah saw. Keteguhan beliau dalam melakukan semua itu mengindikasikan bahwa semua aksi itu wajib dilakukan dalam mendakwahkan Islam. Dalil dari semua aksi tersebut adalah firman Allah berikut:
Sungguh telah terdapat dalam diri Rasul suri teladan yang baik. (QS al-Ahzab [33]: 21).

Imam al-Qarafi mengkhususkan satu bagian dalam buku beliau, Al-Furûq. Pada bab tersebut beliau menjelaskan apa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam kapasitas beliau sebagai imam dan qâdhî (hakim), yang tidak dapat dicontoh oleh siapapun kecuali dia adalah seorang imam atau qâdhî. Demikian pula apa yang dilakukan oleh Rasul dalam kapasitasnya sebagai dai yang menyerukan Islam; merupakan kewajiban bagi semua pengemban dakwah Islam.
Dengan demikian, tatkala kita membawa pesan Islam, kita tidak boleh melakukan berbagai aktivitas perjuangan fisik (mengangkat senjata) sebelum berdirinya daulah (negara) Islam, karena hanya Daulah Islamiyah-lah yang boleh melakukan perjuangan fisik. Rasulullah hanya melakukan aktivitas perjuangan fisik setelah beliau menjadi kepala negara Islam. Ketika di Makkah, beliau sama sekali tidak melakukan aktivitas fisik, karena beliau belum menjadi imam (kepala negara).
Kita menjumpai bahwa Rasulullah melakukan sejumlah aktivitas dalam menyampaikan pesan Islam saat di Makkah. Beliau melakukan pembinaan khusus di tempat-tempat khusus dan dengan cara yang khusus, yaitu dalam bentuk halqah-halqah, seperti Halqah al-Khabbab. Beliau juga mendidik masyarakat secara umum. Aktivitas itu dilakukan dengan cara dan bentuk yang berbeda-beda, misalnya beliau pernah mengundang orang-orang untuk makan bersama dengan tujuan untuk menyampaikan risalah Islam; beliau juga pernah berdiri di Bukit Shafa seraya menyampaikan pesan-pesan Islam. Aktivitas yang berbeda-beda ini terkait dengan cabang dari konsep pokoknya, yakni pembinaan umum (tatsqîf jama‘î). Dengan demikian, dalam hal yang terakhir ini, kita tidak diwajibkan untuk melakukan cara yang sama dengan cara yang diadopsi dan daipraktikkan oleh Rasulullah. Kita bisa saja berbicara kepada orang ketika orang-orang itu berkumpul di masjid, saat pesta pernikahan, atau di penguburan; melalui media seperti di bus, kereta, pesawat, dan sebagainya.
Hal yang sama dilakukan oleh Rasulullah mencari perlindungan (thalab al-nushrah). Beliau hanya mencari perlindungan dari kaum Muslim atau dari individu Muslim yang memiliki kekuatan saja (tidak dari orang-orang kafir). Konsekuensinya, kita pun dapat mencari perlindungan dari suatu kaum, dari komandan militer, atau dari massa yang memiliki kekuatan (ahl al-quwwah) selama mereka adalah Muslim. Artinya, mencari perlindungan dalam dakwah adalah termasuk tharîqah, sedangkan siapa yang harus diminati perlindungan adalah termasuk uslûb.
Kesimpulannya, uslûb didefinisikan sebagai cara bagaimana suatu kewajiban dilaksanakan. Uslûb tidak memerlukan dalil spesifik karena telah tercakup dalam dalil umum dari aktivitas pokoknya dan tujuan yang hendak diraih.

Wasilah (Alat)
Wasilah (washîlah) adalah piranti fisik yang boleh diadopsi ketika melakukan aktivitas cabang. Menggunakan kertas untuk menulis, radio untuk berbicara, dan senapan otomatis untuk berperang, dll merupakan wasilah. Dalam hal ini, berlaku kaidah ushul fikih:

اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ مَالَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّحْرِيْمِ
Semua benda adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Contoh, kita dapat menggunakan kotak kayu untuk dalam pemungutan suara, menggunakan misil antar benua untuk berperang, atau menggunakan satelit untuk komunikasi. Kita dapat menyeru masyarakat dengan menggunakan pamflet-pamflet, leaflet-leaflet, atau sarana-sarana lainnya. Semua itu diperbolehkan. Rasulullah saw. suatu ketika pernah mengutus seseorang ke Yaman untuk mempelajari teknik pembuatan pedang dan lantas Rasul pun mengadopsi teknologi tersebut. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.



BERPIKIR ISLAMI

BERPIKIR ISLAMI

oleh Struggle Tahrir pada 05 Agustus 2010 jam 8:26
Berpikir adalah ciri yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Orang yang berpemikiran tinggi tentu lebih dihormati dari pada orang yang berpemikiran rendah. Allah SWT mengangkat beberapa derajat orang-orang yang beriman dan berpemikiran tinggi - Al Qur'an menyebutnya dengan berilmu pengetahuan. Logikanya, apabila seorang muslim menginginkan ketinggian derajat di sisi Allah, mestilah ia mengingkatkan kualitas iman dan pemikirannya. Tapi, kini apa kenyataannya?
Banyak kaum muslimin telah kehilangan pola berpikir Islami. Salah satu sebabnya adalah ulah Barat. Mereka, dengan berbagai cara, telah meracuni dan membelokkan pemikiran umat Islam dari pemikiran yang tinggi -bersumber pada wahyu Ilahi dan Sunnah Rasulnya- kepada pemikiran rendah -berdasar filsafat dan praduga semata. Maka, tidak mengherankan, ketika hinaan dan celaan datang -terutama dari kaum kafir Barat- menimpa umat di seluruh dunia Islam, kaum muslimin tetap tenang-tenang saja. Hal itu terlihat, misalnya dalam peristiwa perang Teluk. Saat Amerika dan sekutunya menghancurkan Irak, umat Islam diam, tidak dapat berbuat banyak. Bahkan beberapa negeri, dengan bangga, turut andil dalam penyerbuan itu.
Kisah sedih lain, ternyata tak banyak orang Islam di masa kini yang mampu menggali nash-nash syar'i sebagai pemecah problema kehidupan. Berbeda sekali dengan masa kejayaan Islam di masa dulu, dunia Islam kaya dengan orang-orang yang menguasai agama ini dan siap menjawab setiap tantangan kehidupan dengan pemecahan Islam. Lebih tragis lagi, ada sebagian umat Islam yang menolak ijtihad. Pintu ijtihad dikatakan seolah-olah telah tertutup selamanya. Dan mustahil, dengan nada pesimis, dunia akan mencetak kembali orang-orang macam Imam Syafi'i atau Ibnu Taimiyah. Akibatnya, kedinamisan ide dan langkah meraih keagungan Islam, terkekang. Kondisi semacam ini belum pernah dialami oleh umat terdahulu. Mereka --pada masa itu-- tidak pernah berhenti bergerak mencari ilmu, bekerja dan berdakwah, hingga kebenaran dan kemenangan Islam terwujud.
Jika ingin kemuliaan Islam muncul kembali, kaum muslimin tidak bisa tidak, harus memegang teguh dan meningkatkan daya pikir Islaminya. Sadar atau tidak, Umat ini telah terlampau lama meninggalkan pola berpikir Islaminya. Persoalannya sekarang, bagaimana ketinggian pemikiran Islam itu dapat diraih kembali. Untuk itu, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian berfikir dan prosesnya.

Definisi Berpikir

Cara berpikir (aqliyah) adalah salah satu di antara dua unsur pembentuk kepribadian (Syakhshiyyah). Dalam buku "As Syakhshiyah Islamiyah", Taqiyyudin An Nabhani mendefinisikan aqliyah, sebagai cara berpikir atau memahami sesuatu. Ada dua hal yag perlu dijelaskan dari definisi tersebut. Pertama, tentang makna berpikir tentang sesuatu (aqlus syai'). Kedua, tentang cara-cara berpikir.
Berpikir dalam Bahasa Arab disebut dengan tiga lafadz yaitu al aqlu, al fikru dan al idrak. Ketiganya, menunjuk pada satu pengertian: berpikir. Sedang proses berpikir, tulis Muhammad Ismail dalam Al Fikrul Islami, adalah aktifitaas pemindahan fakta melalui indera ke dalam otak, dengan informasi yang ada atau sudah ada (ma'lumat tsaabiqah) akan menafsirkan untuk menafsirkan fakta tersebut. Jadi, unsur berpikir ada 4 komponen yaitu: fakta, indera, otak, dan informasi yang berkaitan dengan sesuatu yang diinderanya. Keempat unsur itulah yang membentuk pemikiran. Bila salah satu tidak ada, mustahil terjadi proses berpikir.
Sementara, terjadinya proses berpikir itu sendiri, tidaklah diketahui persis bagaimana dan dimana tempatnya. Menurut An Nabhani, tempatnya bukan di otak, sebagaimana pendapat banyak orang. Sebab otak hanyalah pusat indera. Tetapi, otak tetap berperan, yakni sebagai penyimpan informasi. Dengan informasi itu, fakta yang terindera dapat dipahami.
Jadi timbulnya pemikiran atau pemahaman pada seseorang adalah ketika terikatnya fakta yang terindera dengan informasi yang telah dimiliki. Meskipun terakumulasi informasi, jika ia tidak pernah mengindera fakta tersebut atau mengkaitkan dengan kenyataannya, maka itu bukan proses berpikir. Tapi menghafal. Ia tidak mempunyai pemikiran dan pemahaman terhadap informasi yang dimilikinya. Seseorang yang dijejali dengan informasi-informasi tanpa pernah meng-indera-fakta-kan informasi tersebut, ia hanya berkemampuan sebatas menghafal informasi. Sebaliknya, seseorang yang mengindera suatu fakta atau benda -berkali-kali sekalipun- tanpa memiliki informasi tentang fakta itu, maka ia tidak akan mempunyai pemikiran atau pemahaman terhadap benda yang diinderanya itu.
Misalnya, dihadapan seorang anak diletakkan tiga macam benda, timbangan, apel dan api. Kemudian, kepadanya diberikan berbagai informasi tentang ketiga benda itu. Bahwa, timbangan untuk menimbang, apel dapat dimakan, dan api dapat membakar. Demikian, berulang kali. Lalu, tanyakan padanya, mana yang disebut timbangan. Tak mustahil, ia akan menunjuk timbangan. Tetapi bila melihat anda tidak setuju, maka ia akan mengubah pendiriannya dan menunjuk benda lain. Anak itu telah menghafal informasi tersebut dan mampu mengulang-ulangnya. Namun, dalam dirinya belum terbentuk suatu pemikiran.
Lain halnya jika anda memperlihatkan padanya sebuah timbangan. Lalu, anda katakan bahwa timbangan itu dapat digunakan untuk menimbang, dan anda memperagakannya berulang-ulang. Atau anda perlihatkan padanya apel atau api. Kemudian anda berikan berbagai informasi mengenainya, dan anda tunjukkan bendanya berulang-ulang. Maka, akan terbentuk suatu permikiran pada diri si anak. Jika ia ditanya, mana yang disebut timbangan, tentu ia akan menunjukkan benda itu pada anda -meskipun anda menolak atau menyalahkannya. Ia tidak perduli dan tetap bertahan, sebab ia telah memahami hal itu. Ia akan dapat mengetahuinya cukup dengan melihat atau mengingat namanya. Dalam dirinya telah terfahamkan mengenai benda-benda tersebut. Yakni, dengan terjadinya perpaduan antara fakta dan informasi yang ada dalam dirinya.
Saat memadukan fakta yang diindera dengan informasi yang dimilikinya, pemahaman seseorang sangat dipengaruhi oleh suatu qaidah fikriyah atau landasan berpikir yang dimilikinya. Qaidah fikriyah adalah pemikiran yang paling mendasar. Ia merupakan aqidah bagi seseorang. Aqidah inilah yang mendasari seluruh bentukan pemikiran seseorang. Tak peduli, benar atau salah.
Qaidah fikriyah adalah penentu cara berpikir seseorang. Jika ia menggunakan aqidah komunis atau materialis sebagai qaidah fikriyahnya, ia berpikir dengan cara komunis (aqliyyah syuyu'iyyah). Bila ia menggunakan aqidah kapitalis sekuleris, ia akan berpikir secara kapitalis (aqliyah ra'sumaliyah). Dan jika Islam yang digunakannya sebagai qaidah, ia akan berpikir secara Islami. Itulah yang disebut aqliyah Islamiyah. Dengan kata lain, "Aqliyah adalah cara-cara berpikir, yang di dalam cara-cara itu terikat atau terpadu fakta dengan informasi atau informasi dengan fakta yang distandarisasi oleh satu qaidah tertentu".

Bagaimana Seorang Muslim Berpikir Islami ?

Aqidah harus tertanam dalam diri seorang muslim, pertama kali. Seseorang dikatakan mempunyai Aqliyah Islamiyah manakala menjadikan aqidah Islamiyah sebagai asas bagi proses berpikirnya. Juga, disaat menangkap pemikiran-pemikiran dan fenomena-fenomena yang terjadi, ia menilai dengan landasan Aqidah Islamiyah. Ketika Aqidah Islamiyah memberikan nilai benar, ia membenarkan dan mengikuti. Sebaliknya, jika Aqidah Islam menilai salah, ia menolak dan menyalahkannya. Seseorang yang telah melakukan hal semacam ini (membenarkan dan menyalahkan sesuatu berdasarkan Aqidah), berarti ia telah memiliki Aqliyah Islamiyah.
Status pemilikan Aqliyah Islamiyah dalam diri seseorang tidak ditentukan apakah ia seorang alim (cendekiawan ) atau awam. Yang penting disini adalah, kebulatan tekad yang terpatri dalam hati untuk menjadikan Aqidah Islam sebagai "penstandar" bagi setiap informasi dan fakta-fakta yang diterima atau di jumpainya.Dalam soal ini tidakbeda antara Imam Syafi'i -- mujtahid terkemuka-- dengan Mang Pi'i yang hanya hafal beberapa ayat untuk keperluan shalatnya. Begitu juga, tidak beda antara Prof. Dr.Ir. A. Baquini --jago nuklir itu-- dengan bang Miing yang hanya tahu, air itu musti jatuhnya ke bawah, dan beli SDSB hukumnya haram. Juga kata Mang Miing, korupsi dan kolusi itu dosa.
Prof. Baquini misalnya, mampu mengkritik teori-teori dasar ilmu Kimia seperti Hukum Kekekalan Masa-sebagai tidak Islami.Soalnya ,temuan Lavoisier (1743-1794), yang kemudian dikembangkan oleh Einstein sebagai hukum kekekalan Energi, menganggap materi itu kekal, tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. Pemikiran semacam itu, kata Baiquni adalah dari paham komunus. Berarti, Prof. Baiquini memiliki Aqliyah Islamiyah, sama dengan Mang Miing tadi.
Jadi, Islami tidaknya cara berpikir seseorang --sekali lagi-- bukan terletak pada alim tidaknya seseorang. Tapi, yang prinsip, apakah ia menjadikan Islam sebagai tolok ukur dalam proses berpikirnya atau tidak. Oleh karena itu, walaupun pengetahuan Islamnya pas-pasan,ia tetap bisa dikatakan memiliki Aqliyah Islamiyah. Asal ia gunakan fikrah Islamiyah sebagai tolok ukur dari proses berpikirnya. Sementara para Orientalis, meskipun ia memiliki pengetahuan luas tentang Islam --paham Ilmu Al Qur'an, Hadist, Siroh Rasul, Sejarah Umat Islam, bahkan mungkin lebih ahli dari kebanyakan umat Islam-- tak dapat ia dikatakan memiliki pemikiran Islami. Sebab ia tidak menjadikan Islam sebagai landasan berpikir. Ia tetap bertahan dengan aqidah Kapitalismenya. Maka, pemikirannya dikatakan sebagai pemikiran Kapitalis (Aqliyah Ra'sumaliyah).
Aqliyah Islamiyah (pemikiran Islami) adalah cara berfikir, yang didalamnya terjadi pengikatan atau pemaduan antara fakta dan informasi, atau informasi dan fakta, yang dilandaskan padaAqidah Islam. Dengan demikian, kepahaman-kepahaman (mafahim) yang dihasilkan dari proses berfikir tersebut adalah mafahim Islam.Mafahim itu penting bagi seorang muslim untuk menstandarisasi atau melandasi perbuatan-perbuatannya.
Terwujudnya Aqliyah Islamiyah pada diri seseorang, adalah tatkala ia mulai bertekad bulat untuk menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan bagi setiap menafsirkan dan memahami informasi dan fakta-fakta yang diterima atau dijumpainya dan untuk meningkatkan kualitas Aqliyah Islamiyah-nya, seorang muslim mau tidak mau harus mempelajari Tsaqofah Islamiyah (Khasanah Ilmu dan Pemahaman Islam).
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhaniy dalam Asy-Syakhshiyyah Islamiyyah, Jilid I, halaman 211, mendefinisikan Tsaqofah Islamiyyah sebagai pengetahuan yang titik tolak pembahasannya adalah aqidah Islam. Baik pengetahuan itu mencakup serta membahas aqidah Islam itu sendiri seperti ilmu tauhid, ataupun pengetahuan itu didasarkan atas aqidah Islam seperti tafsir, hadits, dan fiqh; ataupun pengetahuan yang mutlak diperlukan untuk memahami hukum-hukum yang lahir dari aqidah Islam, yakni pengetahuan yang wajib dimiliki untuk bisa berijtihad, seperti ilmu-ilmu bahasa Arab, mustholah hadits, dan ilmu ushul fiqh.
Tsaqofah Islamiyah seluruhnya bersumber kepada Al-Qur'an dan as-Sunnah. Semua cabang Tsaqofah Islamiyyah muncul dari kedua sumber ini secara langsung, atau melalui pemahamannya. Bahkan, Al-Qur'an dan As-Sunnah sendiri merupakan bagian Tsaqofah Islamiyyah. Dan aqidah Islam mewajibkan setiap muslim untuk berpegang teguh kepada keduanya serta mengamalkannya. al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah memang untuk diterangkan kepada manusia, sebagaimana firman Allah SWT:

{ وَ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ }
Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

Dengan mempelajari Tsaqofah Islamiyah, diharapkan seorang muslim senantiasa dapat memecahkan segala macam problema yang dihadapinya dengan cara Islami, dan kedudukan Aqidah Islam sebagai standarisator benar-benar akan mencakup seluruh aspek kehidupan. Pada gilirannya nanti dia akan muncul diantara umat manusia sebagai salah seorang pemikir Islam yang handal.

Sistem Pemerintahan Islam-Ketundukan hanya kepada Allah SWT, Bukan kepada Manusia

oleh Struggle Tahrir pada 23 Agustus 2010 jam 8:51
Mengangkat Khalifah adalah Kewajiban Seluruh MuslimAllah SWT mewajibkan umat Islam mengatur hidupnya dengan syariah Islam. Allah SWT berfirman:"Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (Qs. al-Maaidah [5]: 48)
Khilafah adalah sebuah kekuasaan yang menerapkan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) . Merupakan sebuah kebutuhan bagi umat Islam untuk mengangkat seorang Khalifah yang akan memimpin Daulah Khilafah dan menerapkan syariah Islam secara kaffah. Maka, tegaknya Daulah Khilafah adalah sebuah kewajiban, dan setiap kelalaian dalam upaya untuk menegakkannya merupakan dosa besar. Rasulullah Muhammad saw. memerintahkan umat Islam untuk memberikan bai'at kepada seorang Khalifah. Nabi menggambarkan bahwa kematian seorang Muslim yang tidak memberikan bai'at (kepada seorang Khalifah) merupakan kematian yang sangat buruk, dengan menyebutnya sebagai mati jahiliyah:
"Dan barangsiapa mati, sementara tidak ada bai'at di pundaknya, maka matinya (dalam keadaan) jahiliyah." (Hr. Muslim)
Dengan syariah Islam, Khilafah memelihara seluruh urusan umat manusia. Jika syariah tidak diterapkan dalam naungan Daulah Khilafah, maka kedaulatan Islam dalam seluruh aspek kehidupan manusia tidak akan pernah terwujud secara nyata. Maka kerahmatan Islam yang dijanjikan juga tidak bisa dirasakan secara nyata pula.
Jadi, Khalifah bisa dikatakan sebagai wakil umat dalam pemerintahan untuk penerapan syariah Islam. Khalifah adalah kepala negara Daulah Khilafah. Islam memberikan hak kepada umat untuk memilih Khalifah yang dikehendakinya untuk mengurus kehidupan mereka. Melalui bai'at, calon khalifah yang menang dalam pemilihan, sah menjadi Khalifah. Maka, tidak boleh ada paksaan dalam pemilihan Khalifah. Pemilihan harus berlangsung atas dasar prinsip ridha wa ikhtiyar (kerelaan dan kebebasan memilih), sebagaimana umat Islam di masa lalu telah memberikan bai'at kepada keempat Khulafa'ur Rasyidin secara sukarela. Bai'at kepada Khalifah diberikan umat dengan syarat Khalifah yang terpilih akan menerapkan syariah Islam secara kaffah.

Khilafah Bukan Sistem Diktator, Bukan Pula Sistem DemokrasiKhilafah adalah sistem politik Islam. Khilafah tidak sama dengan sistem diktator, tapi juga bukan sistem demokrasi. Salah satu prinsip penting dari Khilafah, yang sekaligus membedakan dari sistem lainnya baik diktator maupun demokrasi, adalah bahwa kedaulatan, yakni hak untuk menetapkan hukum, yang menentukan benar dan salah, yang menentukan halal dan haram, ada di tangan syariah, bukan di tangan manusia. Karena itu, baik Khalifah maupun umat, sama-sama terikat kepada syariah Islam. Khalifah wajib menerapkan syariah Islam dengan benar, sesuai dengan ketetapan Allah dalam al-Quran dan As Sunnah. Tidak boleh sesuka hatinya. Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (Qs. al-Maidah [5]: 44)
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (Qs. al-Maidah [5]: 45)
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik." (Qs. al-Maidah [5]: 47)Sementara, dalam sistem demokrasi kedaulatan ada di tangan manusia, bukan di tangan Allah SWT, Dzat yang Maha Menciptakan manusia dan alam semesta. Atas nama kebebasan, sistem demokrasi telah membuat manusia, melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif bertindak sebagai tuhan, yang merasa berwenang menetapkan hukum sesuai dengan keinginan mereka. Kredo demokrasi mengatakan "suara rakyat adalah suara tuhan (vox populei vox dei)". Suara mayoritas menjadi penentu kebenaran, betapapun buruknya sebuah keputusan atau pemikiran. Ketika sudah didukung suara mayoritas, maka keputusan atau pemikiran itu seakan telah menjadi benar. Dengan demikian, jelaslah bahwa pada hakikatnya sistem demokrasi ini bertentangan sama sekali dengan Islam. Karena itu, umat Islam tidak boleh menerima, menerapkan, dan mendakwahkan sistem demokrasi ini dan sistem apapun lainnya yang dibangun di atas prinsip demokrasi. Allah SWT telah berfirman:"Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam." (Qs. Ali 'Imran [3]: 19)

Peran Wakil Rakyat dalam Daulah KhilafahSyariah Islam telah mengizinkan umat Islam untuk memilih wakil mereka dalam menjalankan urusan mereka. Pada kesempatan Bai'at Aqabah Kedua, Rasulullah mengatakan:"Ajukan kepadaku dua belas pemimpin, agar mereka menjadi pemimpin bagi kaumnya."Dalam Daulah Khilafah, wakil rakyat yang menjadi anggota Majelis Umat dipilih oleh umat, bukan ditunjuk atau ditetapkan oleh Khalifah. Akan tetapi, sebagaimana Khalifah, mereka tidak berhak menetapkan hukum, karena kedaulatan tidak berada di tangan mereka, tetapi di tangan syariah. Majelis Umat berwenang mengontrol kebijakan Khalifah dengan ketat dalam mengatur urusan rakyat. Di sisi lain, Khalifah berhak mendatangi Majelis Umat untuk bemusyawarah atau meminta pendapat berkaitan dengan pengaturan urusan umat.Tapi, musyawarah ini bukanlah untuk mentapkan hukum, menentukan yang halal menjadi haram, atau sebaliknya yang haram menjadi halal. Karena itu, dalam Daulah Khilafah tidak boleh ada musyawarah untuk misalnya, menetapkan kebijakan privatisasi sumberdaya energi, karena ini merupakan perkara yang diharamkan Islam. Demikian pula, tidak boleh ada musyawarah dalam perkara-perkara yang diwajibkan Islam, seperti perlu-tidaknya mengerahkan pasukan untuk membebaskan negeri-negeri Muslim yang terjajah, atau menjadikan akidah Islam sebagai asas sistem pendidikan, atau menyatukan seluruh negeri Islam ke dalam wadah Daulah Khilafah.Mengenai keanggotan Majelis Umat, warga negara non-Muslim bisa menjadi anggota Majelis Umat untuk melakukan pengaduan (syakwa) jika ada penyimpangan dalam penerapan syariah Islam atau kedzaliman terhadap diri mereka. Akan tetapi, anggota Majelis Umat yang non-Muslim itu tidak berhak menyampaikan pendapat mereka tentang syariah yang ditetapkan oleh Khalifah, karena mereka tidak meyakini akidah Islam dan sudut pandang Islam yang menjadi dasar penerapan syari
Proses Pengambilan KeputusanIslam tidak sekadar menjelaskan prinsip-prinsip dasar mengenai berbagai aspek kehidupan manusia, tetapi juga memberikan aturan yang rinci. Sebagai contoh, dalam aspek ekonomi ada sejumlah ketentuan syariah yang mengatur tanah pertanian, riba, mata uang, kepemilikan umum dan berbagai pendapatan negara. Berkaitan dengan kebijakan luar negeri, ada sejumlah ketentuan syariah mengenai jihad, perjanjian internasional, dan hubungan diplomatik. Demikian pula dalam aspek pemerintahan, syariah Islam mengatur masalah pemilihan, bai'at, pengangkatan para wali (kepala daerah) dan syarat mengenai pemakzulan penguasa. Khalifah wajib menerapkan ketentuan-ketentuan tersebut apa adanya, tanpa menambah atau mengurangi. Khalifah tidak dibenarkan bersikap mengikuti kehendak pribadinya. Khalifah juga tidak membutuhkan dukungan mayoritas anggota Majelis Umat untuk menerapkannya.Adapun menyangkut ketentuan yang mengandung ikhtilaf, syariah telah memberikan hak kepada Khalifah untuk mengadopsi pendapat yang menurut pertimbangannya mempunyai dalil syara' yang paling kuat, dan kemudian menetapkannya sebagai undang-undang negara. Abu Bakar ra, pada masa awal kekhilafahannya, telah menolak pendapat mayoritas sahabat tentang hukuman bagi orang yang menolak membayar zakat. Beliau memilih mengirimkan pasukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Umar bin Khaththab ra tetap menerapkan hasil ijtihadnya tentang persoalan tanah Irak, walaupun Bilal ra dan para sahabat lainnya tidak setuju. Meski demikian, Khalifah tidak akan mengadopsi salah satu pendapat yang berkaitan dengan masalah pribadi atau cabang-cabang akidah. Dalam hal ini, umat dibolehkan mengikuti pendapat atau hasil ijtihad yang berbeda. Jadi, perbedaan pendapat dalam masalah ini dibolehkan ada di tengah masyarakat.Dalam perkara-perkara yang dipahami publik dan bersifat praktis, Khalifah terikat dengan pendapat mayoritas. Misalnya tentang lokasi yang paling strategis untuk mendirikan universitas di sebuah daerah. Dalam hal ini Khalifah wajib mengikuti pendapat mayoritas. Dalam musyawarah menjelang Perang Uhud, misalnya, Rasulullah dan para sahabat senior berpendapat sebaiknya pasukan Quraisy dihadapi di dalam kota Madinah. Akan tetapi, mayoritas sahabat yang muda berpendapat sebaiknya menyambut pasukan Quraisy di luar kota Madinah. Maka pendapat mayoritas itulah yang kemudian dilaksanakan, sekalipun ini bertentangan dengan pendapat Rasulullah saw dan para sahabat senior.Adapun dalam perkara-perkara yang memerlukan keahlian, maka Khalifah akan bermusyawarah dengan para ahli, bukan dengan masyarakat awam. Setelah bermusyawarah, Khalifah akan mengadopsi pendapat yang dianggap memiliki hujjah (argumentasi) paling kuat. Dalam hal ini, pendapat mayoritas ahli tidak menjadi pertimbangan utama, karena pendapat yang memiliki argumentasi paling kuat tidak selalu dipegang oleh kelompok mayoritas. Misalnya dalam masalah kelangkaan listrik, setelah melakukan musyawarah dengan para ahli, Khalifah akan memberikan keputusan final apakah akan membangun pembangkit listrik dengan energi nuklir, energi matahari, atau melakukan konversi dari energi bahan bakar minyak ke batu bara. Model pengambilan keputusan seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah menjelang perang Badar, di mana Rasulullah saw akhirnya memindahkan camp pasukan Islam setelah melakukan musyawarah dengan Hubab bin Mundzir ra, seorang shahabat yang dianggap paling mengetahui daerah itu.

Khilafah akan Mengakhiri PenjajahanFakta menunjukkan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia saat ini adalah sistem sekuler yang diwariskan oleh penjajah Belanda2, kemudian dilanjutkan dan dipertahankan oleh AS. Maka wajar bila kekuatan kolonialis masih bisa terus mengontrol urusan rakyat Indonesia melalui sistem tersebut. Sistem pemerintahan yang diterapkan Indonesia saat ini memiliki sejumlah kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh kekuatan kolonialis untuk mengamankan kepentingan mereka di Indonesia. Dengan hak legislasi ada di tangan wakil rakyat, maka negara-negara kolonialis itu, melalui infiltrasi kepada wakil-wakil rakyat yang dilakukan dengan berbagai cara, dengan mudah bisa mempengaruhi produk hukum dan perundang-undangan yang dihasilkan oleh wakil rakyat itu. Hasilnya, lahir lah hukum dan perundang-undangan yang pro kepentingan penjajah. Lihatlah UU Migas, UU Penanaman Modal, UU SDA dan yang lainnya.Di dalam Daulah Khilafah, seluruh hukum dan perundang-undangan yang akan diterapkan harus berlandaskan dalil-dalil syara'. Karena itu, Khalifah tidak memiliki pilihan lain kecuali mengambil syariah dan peraturan yang berasal dari al-Quran dan as-Sunnah. Dengan metode ini, kedaulatan benar-benar berada di tangan syariah, bukan di tangan wakil rakyat. Dengan cara ini, kekuatan penjajah tidak mempunyai peluang untuk memanfaatkan proses legislasi demi kepentingan mereka. Maka, pintu penjajahan telah tertutup sejak dini.

Sistem Pemerintahan Indonesia Saat Ini Membuat Penguasa Tidak Mudah Dimintai Pertanggungjawaban. Hanya dalam Khilafah, Kontrol yang Ketat Bisa DilakukanSesuai Pasal 5, pasal 7B, dan pasal 20 UUD 1945 yang telah mengalami amandemen IV (Tahun 2003), Presiden tidak dapat diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum Mahkamah Konstitusi memutus pelanggaran konstitusi apa yang dilakukan oleh Presiden. Sementara, Presiden bersama DPR sepenuhnya bebas membuat undang-undang apa pun, diantaranya undang-undang yang dapat mencegah rakyat memiliki akses guna melakukan kontrol atau koreksi terhadap pemerintah. Contoh mutakhir adalah Rancangan Undang-Undang tentang Kerahasiaan Negara, di mana di dalamnya terdapat ketentuan yang dapat membuat sejumlah informasi penting yang menyangkut rakyat banyak tidak dibuka untuk publik; atau Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), yang menyatakan bahwa para pejabat di sektor keuangan ini tidak dapat dijerat hukum terkait kebijakannya dalam memberikan Bantuan Likuiditas guna menghadapi krisis finansial global. Demikianlah, ketentuan dan mekanisme dibuat sedemikian rupa sehingga pada akhirnya rakyat tidak bisa melakukan kontrol dan koreksi terhadap pemerintah.Dalam Daulah Khilafah, kepala negara atau Khalifah bukanlah seorang raja atau seorang diktator. Khalifah tidak dapat mengganti atau mengubah syariah Islam sesuka hatinya. Dalam Daulah Khilafah, upaya meminta pertanggung- jawaban penguasa bukan sekadar hak, tapi merupakan kewajiban dari setiap warga, karena amar ma'ruf dan nahi munkar merupakan salah satu kewajiban dalam Islam. Rasulullah saw. bersabda:
"Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaklah kalian melakukan amar ma'ruf nahi munkar, atau Allah akan menurunkan hukuman atas kalian, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, maka Dia tidak mengabulkan doamu." (Hr. Tirmidzi)Jadi, dalam Daulah Khilafah setiap orang, kelompok, partai, anggota Majelis Umat atau qadhi Mahkamah Madzalim bisa mengontrol dan mengoreksi Khalifah. Islam memerintahkan untuk memberhentikan seorang Khalifah jika terbukti memerintah bukan dengan syariah Islam, atau jika bersikap dzalim kepada rakyatnya. Pemakzulan ini merupakan sebuah kewajiban untuk menghilangkan kedzaliman. Maka, ketika kedzaliman terjadi, masyarakat berhak mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Madzalim. Jika kedzaliman itu terbukti dilakukan oleh Khalifah, maka Mahkamah Madzalim berhak memberhen-tikannya.

Khilafah Akan Menghapus Korupsi PolitikKorupsi politik senantiasa muncul dalam masyarakat sekuler, lebih-lebih di negara yang menerapkan sistem demokrasi, tidak terkecuali di Indonesia. Namun masyarakat seringkali salah mengira. Mereka menganggap korupsi politik itu semata-mata terjadi karena kesalahan individu, bukan kesalahan sistemik. Padahal fakta menunjukkan bahwa sistemlah yang menghasil-kan individu-individu yang bermasalah. Dan sistem itu pula yang kemudian membiarkan individu-individu tersebut melakukan berbagai bentuk korupsi.Salah satu bentuk korupsi politik yang paling menonjol adalah dengan memperjual-belikan pasal-pasal dalam undang-undang atau keputusan politik lain seperti penetapan sebuah jabatan atau penyusunan anggaran. Dengan hak untuk membuat hukum perundang-undangan yang dimilikinya, anggota lembaga legislatif bisa melakukan negosiasi kepada pihak-pihak tertentu, baik di dalam maupun di luar negeri untuk memasukkan pasal-pasal dalam perundangan yang menguntungkan mereka. Atau mengatur besaran anggaran dan person tertentu dalam jabatan publik yang sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk melakukan itu semua, anggota legislatif akan mendapatkan bayaran sejumlah uang. Tertangkapnya sejumlah anggota DPR dalam kasus suap menunjukkan bahwa praktek seperti itu memang berlangsung secara nyata. Karena itu, uang ratusan juta bahkan milyaran rupiah yang dibelanjakan agar bisa menjadi anggota parlemen dianggap sebagai sebuah investasi yang pantas. Dengan cara inilah orang-orang yang bermental korup justru yang paling banyak terjaring masuk ke parlemen. Tak mengherankan, jika lembaga perwakilan rakyat itu lebih menjadi wadah untuk mengamankan kepentingan individu yang korup, bukan lembaga untuk mengurusi kepentingan rakyat. Sementara partai yang semestinya menjadi sarana perjuangan politik demi kepentingan rakyat, justru menjadi alat untuk melakukan berbagai tindakan korupsi politik tadi. Walhasil, jadilah korupsi dilakukan secara bersama-sama. Inilah fenomena "korupsi berjamaah".Dalam Daulah Khilafah, karena hak membuat hukum dan perundang-undangan ada pada syariah dan proses legislasinya dilakukan dengan ijtihad, maka tidak ada seorang pun, termasuk anggota Majelis Umat, yang bisa melakukan korupsi politik dengan jalan menjual belikan pasal-pasal dalam perundang-undangan itu. Dalam Daulah Khilafah, para wakil juga rakyat tidak bisa memeras Khalifah dengan ancaman mosi tidak percaya atas prasangka semata. Khalifah hanya bisa diberhentikan bila ia menyimpang dari syariah Islam. Dengan cara inilah, Khilafah akan menghapuskan korupsi politik yang merajalela di dalam sistem demokrasi.

TANPA KHILAFAH UMAT ISLAM HIDUP BAK GELANDANGAN TANPA RUMAH

TANPA KHILAFAH UMAT ISLAM HIDUP BAK GELANDANGAN TANPA RUMAH

oleh Struggle Tahrir pada 07 September 2010 jam 10:36

Tidak banyak umat muslim yang tahu bahwa 86 tahun yang lalu telah terjadi sebuah peristiwa yang sangat mempengaruhi perjalanan kehidupan umat Islam di seantero dunia. Persisnya pada tanggal 3 Maret 1924 Majelis Nasional Agung yang berada di Turki menyetujui tiga buah Undang-Undang yaitu: (1) menghapuskan kekhalifahan, (2) menurunkan khalifah dan (3) mengasingkannya bersama-sama dengan keluarganya.

Turki pada masa itu merupakan pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah terakhir. Kekhalifahan terakhir umat Islam biasa dikenal sebagai Kesultanan Utsmani Turki alias The Ottoman Empire, demikian penyebutannya dalam kitab-kitab sejarah Eropa. Kekhalifahan Utsmani Turki merupakan kelanjutan sejarah panjang sistem pemerintahan Islam di bawah Ridha dan Rahmat Allah yang berawal jauh ke belakang semenjak Nabi Muhammad pertama kali memimpn Daulah Islamiyyah (Tatanan/Negara Islam) Pertama di kota Madinah.
Secara garis besar kita dapat membagi periode sejarah kepemimpinan Islam ke dalam lima periode utama berdasarkan sebuah Hadits Shahih Nabi riwayat Imam Ahmad.

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ ا للهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَّرِيًّا ، فَتَكُوْنَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، ثُمَّ سَكَتَ
“Periode an-Nubuwwah (kenabian) akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya, setelah itu datang periode khilafatun ‘ala minhaj an-Nubuwwah (kekhalifahan atas manhaj kenabian), selama beberapa masa hingga Allah ta’aala mengangkatnya, kemudian datang periode mulkan aadhdhon (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa, selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’aala, setelah itu akan terulang kembali periode khilafatun ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam,”(HR Ahmad 17680).
Periode pertama adalah Kepemimpinan langsung Nabi Muhammad yang disebut sebagai masa An-Nubuwwah (Kenabian). Periode kedua merupakan Kepemimpinan para sahabat utama yakni Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattb, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan julukan Khulafaur Rasyidin (Para khalifah yang adil, jujur, benar dan terbimbing oleh Allah SWT). Di dalam hadits tersebut periode ini dikenal sebagai periode Khilafatun ’ala Minhaj An-Nubuwwah (Kekhalifahan yang mengikuti Manhaj/Sistem/Metode/Cara Kenabian).
Sesudah itu, kata Nabi, pada periode ketiga umat Islam akan mengalami kepemimpinan para Mulkan ’Aadhdhon (Para Raja/Penguasa yang Menggigit). Kepemimpinan para Mulkan ’Aadhdhon (Para Raja/Penguasa yang Menggigit) merupakan periode dimana umat Islam memiliki para pemimpin yang tetap mengaku dan dijuluki sebagai para Khalifah. Mereka masih menyebut pemerintahannya sebagai Khilafah Islamiyyah (Kekhalifahan Islam), namun pola suksesi seorang khalifah kepada khalifah berikutnya menggunakan cara pewarisan tahta laksana sistem kerajaan turun-temurun. Periode ini bisa dikatakan merupakan periode paling lama dalam sejarah Islam, ia berlangsung sekitar tigabelas abad, semenjak Daulat Bani Umayyah, lalu Daulat Bani Abbasiyyah dan berakhir dengan Kesultanan Utsmani Turki. Itulah sebabnya mereka dijuluki oleh Nabi sebagai para Mulkan atau Raja-raja.
Kemudian disebut sebagai Mulkan ’Aadhdhon (Para Raja/Penguasa yang Menggigit) karena betapapun keadaannya para raja tersebut masih ”menggigit” Al-Qur’an dan As-Sunnah, dua sumber utama nilai-nilai dan hukum-hukum Islam, kendati tidak sebaik para Khulafaur Rasyidin yang ”menggenggam” Al-Qur’an dan As-Sunnah. Coba bandingkan antara orang yang mendaki bukit dengan tali, tentu yang lebih aman dan pasti ialah orang yang ”menggenggam” talinya sampai ke atas daripada orang yang ”menggigit”-nya.
Itulah sebabnya kita jumpai dalam sejarah bahwa pada periode ketiga (Para Raja/Penguasa yang Menggigit) Dunia Islam tampak mengalami degradasi dibandingkan pada periode kedua (Kekhalifahan yang mengikuti Manhaj/Sistem/Metode/Cara Kenabian). Namun demikian, sebagai sebuah sistem, maka periode ketiga masih menyaksikan berlakunya sistem Islam dalam hal pemerintahan. Masalahnya tinggal apakah person yang memimpin merupakan sosok yang adil ataukah zalim. Ada kalanya adil seperti Umar bin Abdul Aziz. Dan kalaupun Allah taqdirkan yang memimpin adalah sosok yang zalim, maka kita temukan berbagai pandangan ulama di masa itu yang melarang rakyat melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Mengapa? Sebab sebagai sebuah sistem ia masih menjunjung tinggi Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sejak tanggal 3 Maret 1924 umat Islam menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara tanpa kehadiran sistem pemerintahan Islam Al-Khilafah Al-Islamiyyah. Seorang Yahudi Dunamah, Penggila Budaya Barat, Pengagum Sekularisme dan juga seorang pemabuk-pedansa bernama Mustafa Kemal memproklamir pembubaran sistem pemerintahan Islam tersebut. Suatu pemerintahan yang sesungguhnya merupakan warisan ideologis-sosial-politik-budaya umat yang bermula sejak kepemimpinan Nabi Muhammad di kota Madinah 15 abad yang lalu. Dan mulailah sejak saat itu umat Islam menjadi laksana anak-anak ayam kehilangan induk, anak-anak yatim tanpa ayah serta gelandangan tanpa rumah pelindung dari panasnya terik matahari dan dinginnnya hujan.
Sudah 85 tahun sejak peristiwa tragis tersebut berlangsung. Sedemikian jauhnya pemahaman dan pengalaman umat Islam mengenai realitas kehidupan di bawah naungan tatanan khilafah Islam sehingga banyak muslim yang menyangka bahwa sistem kehidupan dengan konsep nation-state dewasa ini merupakan sebuah sistem yang cukup memuaskan dan sudah final. Padahal kehidupan dengan sistem nation-state bagi umat Islam merupakan sebuah kehidupan darurat laksana para gelandangan yang terpaksa membangun bedeng sebagai rumah sementara karena raibnya rumah mereka yang semestinya. Mungkin karena sudah terlalu lama ”menikmati” hidup di bedeng-bedeng akhirnya mereka mulai menyesuaikan diri dan terbius untuk meyakini bahwa memang sudah semestinya mereka nrimo hidup tanpa pernah lagi punya rumah semestinya. Awalnya hanya terpaksa menjadi gelandangan, lama kelamaan secara sukarela meyakini dan menumbuhkan mentalitas gelandangan di dalam jiwa…!
Lalu bagaimana gerangan nasib umat Islam selanjutnya? Berdasarkan hadits Nabi riwayat Imam Ahmad tersebut ternyata Nabi menggambarkan bahwa periode keempat umat Islam bakal hidup ”tanpa khilafah”. Periode tersebut Nabi sebut sebagai periode Mulkan Jabbariyyan (Para Raja/Penguasa yang Memaksakan Kehendak). Saudaraku, periode itulah yang sedang kita lalui dewasa ini. Suatu periode dimana umat Islam tidak saja kehilangan person khalifah yang layak memimpin dan melindungi mereka, namun lebih jauh daripada itu mereka bahkan tidak lagi dinaungi oleh sistem pemerintahan Islam bernama Khilafah Islamiyyah. Inilah periode kepemimpinan Mulkan Jabbariyyan alias para penguasa yang memaksakan kehendak yang berarti mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya. Inilah periode dimana umat Islam Babak Belur..!! Inilah periode paling kelam dalam sejarah Islam. We are living in the darkest ages of the Islamic history…!!
Kondisi di periode keempat ini menggambarkan dekadensi yang Nabi sebutkan dalam haditsnya sebagai berikut:
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ
بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ

“Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap satu simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya. Yang paling awal terurai adalah hukum dan yang paling akhir adalah shalat,” (HR Ahmad 45/134).
Praktis dewasa ini segenap simpul dari ikatan Islam telah terurai seluruhnya. Sejak dari simpul hukum yang tercermin dengan runtuhnya tatanan Khilafah hingga banyaknya muslim yang dengan seenaknya meninggalkan kewajiban sholat tanpa rasa bersalah… Dewasa ini umat Islam merasakan suatu kehidupan jahiliyyah modern mirip dengan keadaan Nabi dan para sahabat pada periode pertama bagian awal yakni ketika mereka berjuang melawan kejahiliyyahan di kota Mekkah dan segenap jazirah Arab sebelum berhijrah ke Madinah.
Saudaraku, betapapun pahitnya periode keempat ini, tidak selayaknya kita berputus asa apalagi sampai menerima sepenuhnya sistem yang diberlakukan fihak musuh Islam di fase ini. Tidak selayaknya kita kehilangan harapan bahwa sesungguhnya rumah sejati kita dapat dibangun kembali. Kita hendaknya menyadari bahwa urusan kepemimpinan merupakan giliran yang Allah taqdirkan akan senantiasa berubah-ubah di dalam kehidupan dunia fana ini. Adakalanya giliran kepemimpinan diberikan kepada umat Islam adakalanya diberikan kepada kaum kuffar. Yang penting al-wala (loyalitas) kita terhadap al-haq di satu sisi dan al-bara (penentangan) kita terhadap al-batil di lain sisi harus tetap kita pelihara terus.
Sebab berdasarkan hadits periodisasi di atas kita temukan harapan dimana Nabi menyatakan bahwa periode keempat ini bukanlah periode terakhir sejarah umat Islam. Masih ada satu periode lagi yang kita akan jelang, yaitu periode kelima berjayanya kembali umat ini dengan tegaknya kembali Khilafatun ’ala Minhaj An-Nubuwwah (Kekhalifahan yang mengikuti Manhaj/Sistem/Metode/Cara Kenabian). Umat Islam akan menyaksikan munculnya kembali para pemimpin sekaliber Khulafaur Rasyidin di akhir zaman. Umat Islam akan memiliki kembali rumah syar’i mereka Al-Khilafah Al-Islamiyyah, insyaAllah.
Yang paling penting dewasa ini umat Islam harus memelihara kesabaran, istiqomah dan optimisme mereka akan masa depan. Dan yang lebih penting lagi ialah hendaknya mereka berjuang sebagaimana berjuangnya Nabi dan para sahabat di Mekkah sebelum adanya Daulah Islamiyah Madinah. Mereka berjuang dengan fokus utama pada kegiatan da’wah mengajak manusia sebanyaknya kepada way of life Diin Al-Islam, tarbiyyah mengkader para muslim untuk meningkat menjadi mukmin, muttaqin bahkan mujahidin. Mereka tidak sedikitpun berkompromi dengan nilai-nilai dan sistem jahiliyyah yang mendominasi saat itu. Mereka sibuk hanya menjalankan program berdasarkan arahan dan bimbingan wahyu Allah dan supervisi Nabi Muhammad.
Saudaraku, marilah kita pastikan diri ikut dalam program menjemput datangnya periode kelima berdasarkan jalan yang dicontohkan Nabi dan para sahabatnya. Jangan hendaknya kita malah terlibat dalam program-program tawaran manusia yang sedang memimpin di babak keempat ini sambil menyangka dan meyakini bahwa itulah jalan untuk bisa mendatangkan kejayaan Islam. Tegaknya Khilafah tidak mungkin mengandalkan negosiasi-negosiasi di meja perundingan dengan kaum kuffar yang sedang mendominasi dunia dewasa ini. Atau mengharapkan jalannya laksana melewati taman-taman bunga indah, apalagi sekedar mengandalkan “permainan kotak suara“. Saudaraku, kembaliinya kejayaan Islam tentulah menuntut pengorbanan yang sangat boleh jadi mengakibatkan tetesan airmata bahkan darah karena harus menempuh jalan yang telah ditempuh Nabi dan para sahabatnya yaitu ad-Da’wah al-Islamiyyah, At-tarbiyyah Al-Harakiyyah dan Al-Jihadu fii Sabilillah.
Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan hamba-hambaMu yang terdaftar ke dalam pasukan jihad Imam Mahdi. Ya Allah, berilah kami salah satu dari dua kebaikan ’isy kariiman (hidup mulia di bawah naungan SyariatMu) atau mut syahiidan (mati syahid). Amin.-